Pemerhati ekonomi Mohammad Levind memandang peraturan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meredam kenaikan harga minyak goreng di pasar tidak tepat.
Satu diantaranya minyak goreng alat pada harga Rp. Memutuskan Harga Ketengan Paling tinggi (HET) minyak goreng sejumlah 14.000 per liter. Ini karena minimnya minyak goreng di pasar karena pemerlakukan peraturan ini.
“Sejauh ini implementasi harga minyak goreng pada tingkat ketengan Rp 14.000 tidak efisien di beberapa tempat, bahkan juga mengakibatkan kelangkaan,” ucapnya, Senin (2 Juli)… “Mengapa? Karena retail memperoleh minyak goreng pada harga semakin tinggi dari harga dasar. Tidak adil jika retail dipaksakan jual pada harga itu atau menjalankan pasar pada harga itu.” sambungnya.
Kontrol pemerintahan yang kurang kuat dipercaya mengakibatkan pergolakan harga minyak goreng yang baru saja turun.
Peraturan penghilangan minyak goreng dengan jumlah besar dan peraturan bantuan monovalen lewat Tubuh Pengurus Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) cuman jadi memperburuk permasalahan. “Kementerian Perdagangan perlu lakukan aktivitas distribusi secara detail di titik di mana kekurangan suplai yang serius dideteksi, di bawah pemantauan yang ketat sekali,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintahan kurang cukup menanti produsen dan distributor mengaplikasikan peraturan. Proses ketat dengan pemantauan ketat harus juga dilaksanakan.
“Sering Kemendag mempunyai war room atau ruangan keadaan yang bisa memantau secara real time gerakan stok dan distribusi barang keperluan primer di beberapa wilayah, terhitung produsen dan distributor yang menyuplai masing-masing wilayah. Keinginan warga. Perkiraan mingguan atau keperluan bulanan.” Pdt. Dengan begitu, menurut Revi, harga yang naik dan kelangkaan minyak goreng diprediksi bisa terjadi. x “Apabila ada permasalahan, Anda akan mengetahui siapakah yang bertanggungjawab,” kata Levi.