BPJS Ketenagakerjaan telah mulai bicara masalah bujet Rp 3 miliar menjadi anggota golf di beberapa tempat. Pro-kontra ini ada sesudah pergolakan peraturan Agunan Hari Tua (JHT).
Dian Agung Senoaji, Deputi Direktur Humas dan Antara Kementerian BPJS Ketenagakerjaan, menentang peserta golf sebagai sarana untuk karyawan BPJS.
Menurutnya, Agunan Kepesertaan Golf sebagai asset BPJS Ketenagakerjaan yang nanti bisa diperoleh, dipasarkan, atau mungkin tidak langsung dijadikan investasi.
Dia menjelaskan Agunan Kepesertaan Golf datang dari peralihan asset PT ASTEK (Persero) dan PT Jamsotek (Persero) yang didapat dari kurang bayar investasi kepercayaan trust di tahun 2004 dan ganti rugi atas transaksi bisnis keuangan dari tahun 1991 sampai 1992. Diterangkan.
Bukan sarana. Agunan itu dicatat sebagai kekayaan perusahaan (BPJS) dan bukan sisi dari kekayaan dana agunan sosial (program JKK, JK, JHT, JP, JKP), hingga kebutuhan peserta dalam mengurus dana agunan sosial”.
Dia meneruskan, keanggotaan bisa dipindahkantangankan dan bisa diarahkan atau dipasarkan ke seseorang untuk memperoleh keuntungan.
“Sekarang ini BPJS Ketenagakerjaan terdaftar sebagai asset masih tetap karena tidak dipakai untuk operasional dan kami usaha untuk menjualnya pada harga yang lumrah,” katanya.
Pro-kontra Agunan Hari Tua (JHT) belum selesai, tetapi cuplikan Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan yang diupload ke sosial media Twitter oleh account @Rakyat Karyawan “Laporan BPJS-Ketenagakerjaan 2019, 30 Miliar untuk Bermain Golf” sudah tersebar.
Selesai ciutan itu diupload di Twitter, beragam reaksi juga banyak muncul seakan cuplikan dari Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan yang dibujetkan sejumlah Rp itu benar-benar mengagumkan. 3 miliar untuk golf dalam pro-kontra permasalahan JHT.